NANGLUK
MERANA
Oleh
:
I NYOMAN KUSUMA NATA
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
|
2012
PENDAHULUAN
ritual nangluk marana dalam tulisan ini adalah
ritual yang dilakukan oleh masyarakat Bali dalam hubungannya dengan segala
upaya untuk menghindarkan diri dari bahaya atau kemalangan yang mungkin akan
terjadi. Marana dalam hal ini tidak hanya berarti hama, melainkan semua
penyakit, virus, dan hal-hal yang tidak baik yang mungkin akan menimpa si
pemilik rumah. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, semua marana ‘bahaya’ dan
durmanggala ‘penyebab kemalangan’ yang akan datang, membawa tanda atau
ciri-ciri tersendiri yang dikenal dengan durmita. Hal itu tidak diketahui oleh
semua orang. Hanya orang-orang tertentu yang mendalami sastra dan ajaran
agamalah yang mengetahuinya. Tanda-tanda tentang kemeranan ‘terkena bahaya’ dan
kedurmenggalan ‘kemalangan’, baik yang akan terjadi pada lingkungan rumah
tangga, desa, maupun negara, diuraikan secara panjang lebar dalam lontar
Roghasanghara Bumi dan Tutur Lebur Gangsa. Namun, pada bab ini hanya dibahas
tanda-tanda yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Itu pun tidak semuanya,
hanya terbatas pada yang bisa penulis uraikan.
Secara umum semua ritual yang berkaitan dengan
nangluk marana disebut sebagai caru. Caru adalah ritual yang dilaksanakan
dengan tujuan untuk nyomia bhuta kala. Kata caru itu sendiri
bermakna’kurban’,’sedekah’ (Mardiwarsito, 1978:49, Suparlan, 1991:21).
Sementara itu, dalam Kamus Sanskerta kata caru bermakna’cantik,bagus, harmonis
(Wikarman,1998:5). Berdasarkan uraian itu, kata caru dalam tulisan ini
diartikan sebagai ritual dengan melaksanakan kurban atau memberi sedekah kepada
bhuta kala penyebab atau penguasa segala jenis marana, dengan tujuan agar
semuanya menjadi harmonis. Dalam hal ini, para bhuta kala dimohon agar kembali
ke asal/alamnya dan tidak mengganggu ataupun menimbulkan kekacauan pada alam
manusia. Namun perlu diketahui bahwa, sebenarnya tidak semua ritual nangluk
marana itu disebut caru, seperti misalnya ritual Nawa Gempang dan Rsi Ghana.
Penulis cenderung menyebut kedua ritual itu sebagai ritual saja, bukan caru.
Mengapa demikian? Aalasannya adalah, karena kedua ritual itu dipersembahkan
kepada Dewa (Dewata Nawa Sanga dan Dewa Ghana), bukan kepada bhuta kala.
PEMBAHASAN
UPACARA NANGLUK MERANA
Upacara Nangluk Mrana (merana) adalah upacara
yadnya yang dilaksanakan sebagai
permohonan kepada Ida Sang Hyang
Widhi, Tuhan Yang Maha Esa agar berkenan
menangkal atau mengendalikan gangguan - gangguan yang dapat membawa kehancuran
atau penyakit pada tanaman, seperti padi di sawah, hewan maupun manusia sehingga tidak membahayakan lagi, sebagaimana dijelaskan
dalam kutipan artikel upacara ngaben tikus dalam
jornal Bali
Asal katanya disebutkan "Nangluk Mrana" berasal
dari kata bahasa Bali yang kemungkinan juga mendapat pengaruh bahasa
sansekerta.
- “Nangluk” berarti
empangan, tanggul, pagar, atau penghalang; dan “mrana” berarti hama
atau bala penyakit.
- Mrana adalah istilah yang umum
dipakai untuk menyebut jenis-jenis penyakit yang merusak
tanaman. Bentuknya bisa berupa serangga, binatang maupun dalam bentuk
gangguan keseimbangan kosmis yang berdampak merusak tanaman.
Jadi “nangluk mrana” berarti mencegah
atau menghalangi hama (penyakit), atau ritual penolak bala. Dalam lontar “Perembon Indik Ngaben Tikus” sekilas dijelaskan bila
tikus telah menjadi hama ganas yang menyerang sawah petani, maka
sebaiknya dilakukan upacara seperti mengupacarai orang mati biasa. Dan upacara
hendaknya dilakukan di tepi pantai dengan cara dibakar. Namun
dalam lontar itu tidak dijelaskan secara rinci jenis upakara atau tetandingan banten maupun tatacara
pelaksanaannya.Tata cara upacaranya seperti
mengupacarai orang mati biasa dan hendaknya tempat upacara di tepi pantai
dengan cara dibakar atau disebut dengan istilah "ngaben tikus".
Hal ini dijelaskan sekilas dalam lontar
“Sila Gama Catur Pataka.”
Dalam lontar “Yama Tattwa”
disebutkan bahwa waktu yang paling tepat untuk melaksanakan ngaben
tikus adalah pada saat gugusan bintang di langit membentuk rasi tikus. Hampir semua lontar yang sekilas menjelaskan ngaben tikus
menyebut pantai (laut) sebagai tempat yang paling baik untuk menggelar upacara
pengabenan tikus itu. Menurut kepercayaan orang Bali, segala penyakit dan
hama bersumber dari laut selatan yang dikuasai oleh Dewa Laut, Sang Hyang Baruna. Dari laut selatan itulah
segala hama penyakit disebarkan oleh
Ratu Gde Mecaling (Penguasa Kegelapan) yang beristana di Nusa
Penida. Bahkan Pura Masceti
yang terletak di pinggir pantai di Gianyar dianggap sebagai pura yang menguasai
tikus. Para petani wajib datang ke Pura Masceti memohon agar terhindarkan
dari wabah tikus yang menyerang padi mereka.
Waktu yang paling baik untuk
menggelar upacara Nangluk Mrana adalah :
- Sasih
keenam (Desember),
- Sasih
kepitu (Januari),
- Sasih
keulu (Pebruari),
- Sasih
kesanga (Maret)
yang menurut keyakinan orang Bali merupakan
bulan-bulan rawan yang penuh marabahaya. Menurut kepercayaan yang tumbuh subur
di pesisir selatan Bali, pada bulan-bulan keramat itu, seperti yang telah
disebutkan di atas, penguasa Nusa Penida, Ratu Gde Mecaling sedang
gencar-gencarnya menyebarkan wabah dan penyakit ke Bali daratan.Dan pada bulan-bulan
rawan itu biasanya berbagai jenis wabah penyakit merajalela. Untuk menetralkan
kembali keseimbangan kosmis yang terganggu maka digelarlah berbagai jenis
ritual penolak bala salah satunya adalah dengan cara nagluk merana ini.Sebagai
tambahan, keris juga digunakan
pada saat upacara nangluk merana pecaruan sasih desa adat Kuta.Begitu juga disebutkan bahwa Banaspatiraja merupakan kekuatan pelindung dari segala macam
penyakit atau hama yang ada di sawah yang berfungsi sebagai nangluk merana
untuk menetralisir kekuatan negatif
DALAM AJARAN WEDA
Yadnya
merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan ajaran Weda; Tujuan pelaksanaan:
"yadnya itu sendiri adalah sebagai
pengejawantahan Weda di samping sebagai cetusan rasa terima kasih, dan untuk
meningkatkan kualitas diri. Weda menguraikan empat cara yang berbedabeda untuk
mengungkapkan ajaran Weda itu sendiri yaitu:
Ream tvah posagaste
Gayatram tvo gayati savavarlsu
Brahma tvo vadati jatavidyam
Yadnasya matram vi mimita uttvah
(Reg.Veda V.71.II)
Artinya: Seorang bertugas mengucapkan sloka-sloka Veda seorang melakukan nyanyian-nyanyian pujian dalam sakwari, seorang lagi yang menguasai pengetahuan Weda dan yang lain mengajarkan tata cara melaksanakan korban suci (yadnya).
Sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan sudah seyogyanya kita berterima kasih pada Beliau, karena Beliau pun menciptakan kita dengan yadnya. Dengan yadnya pula kita sebagai manusia akan mencapai kebaikan yang maha tinggi. Dalam Bagavad Gita III.10 disebutkan, bahwa pada zaman dahulu prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: "Dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu."
Kalau merujuk pada beberapa kitab suci seperti Manawa Dharma Sastra III.69-70 untuk Butha Yadnya adalah upacara bali (banten), sedangkan dalam kaitannya dengan upacara butha yadnya itu adalah upacara tawur untuk keseimbangan alam. Dalam Agastya Parva disebutkan, bahwa bhuta yadnya ngarania taur muang kapujan ringtuwuh, melaksaanakan butha yadnya menggunakan bali (banten) sebenarnya adalah simbol atau nyasa.
Lontar Yadnya Prakirti menyatakan .... "Sahananing bebantenan pinaka raganta tuwi (seperti simbol tubuh manusia), pinaka warna rupaning bhatara (seperti wujud Bhatara/Dewa), pinaka Anda Buwana (seperti wujud isi alam semesta), Butha yadnya namanya adalah mengembalikan kelestarian alam dengan menyayangi tumbuh-tumbuhan: DaIam melakukan yadnya yang sesungguhnya adalah penyerahan diri sebagai yadnya yang mulia sebagaimana yang dilakukan oleh Sri Guruji Golwakar. Sementara ini pelaksanaan yadnya di Bali selaIu dengan upacara yang seyogyanya dibarengi dengan penguatan sradha dan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Berapa pun banyaknya upacara yang dilaksanakan apalagi dengan keglamouran atau kemewahan yang ternyata ada kepentingan-kepentingan di balik itu, maka itu tidak akan ada maknanya, tanpa adanya susila yang tidak terpisahkan dari sebuah upacara, dan makna di balik ritual sebagai pemahaman tattwa. Jadi melaksanakan yadnya tidak mesti dengan upacara besar dengan mengabaikan susila dan tattwa.
Begitu pun dengan butha yadnya yang di Bali diterjemahkan dengan korban binatang, Mestikah seekor binatang dikorbankan hanya untuk yadnya keharmonisan alam? Sementara ini keadaan itu dikonstruksi sedemikian rupa, sehingga umat Hindu takut pada Kala. Walaupun daIam Manawa Dharma Sastra V.40 disebutkan, bahwa tumbuh-tumbuban dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan. berikutnya. Oleh karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan sitat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan akhirnya terus meningkat menuju sifat-sifat kedewaan.
Mitologi dalam butha yadnya inipun tidak terlepas dari apa yang dipahami oleh umat, bahwa Caru Ekasata dihubungkan dengan Sahadewa, Caru Panca Sata dengan Panca Kumara, Caru Panca Sanak dengan anjingnya Yudistira, Caru Panca Kelud dengan Prabu Angling Dharma. Keadaan itu kita warisi sampai sekarang, padahal esensinya butha yadnya jangan hanya diartikan pada persembahan kepada butha kala melainkan mestinya esensi yang substantif adalah memperbaiki sifat-aifat yang berada dalam diri manusia dengan jalan ngeret indria, mulat sarira sebagai sifat butha seyogyanyalah sifat-sifat binatanglah yang dikorbankan. Keharmonisan alam semesta sebagaimana konsepsi Tri Hita Karana wajib dilaksanakan agar tercapai dunia yang jagadhita (sejahtera).
Beryadnya di zaman kali adalah dengan berdana dan musuh itu sangat dekat dengan diri kita karena ia berada dalarn diri kita sendiri. Secara normatif ajaran-ajaran dalam Hindu senantiasa menuntun kita ke arah kebaikan, tetapi perkaranya adalah begitu banyak upacara yang dilakukan termasuk butha yadnya demi keharmonisan alam, kenapa masih saja terjadi kerusakan pada alam. Kalau itu adalah kerusakan mekanis karena alam sudah semakin tua usianya, bagaimana upaya kita sebagai makhluk ciptaan yang sama dari beliau memiliki kewajiban moral untuk merevitalisasi. Akan tetapi kalau ternyata manusia sendiri yang merusak alam itu sendiri sehingga alam menjadi rusak betapa berdosanya kita. Pelaksanaan sebuah upacara, baik itu butha yadnya maupun yadnya yang lain seyogyaya menjadikan umat Hindu semakin unggul dan berkualitas meliputi keunggulan rohani, etika, moral, toleransi, dan keunggulan penguasaan teknologi.
Ream tvah posagaste
Gayatram tvo gayati savavarlsu
Brahma tvo vadati jatavidyam
Yadnasya matram vi mimita uttvah
(Reg.Veda V.71.II)
Artinya: Seorang bertugas mengucapkan sloka-sloka Veda seorang melakukan nyanyian-nyanyian pujian dalam sakwari, seorang lagi yang menguasai pengetahuan Weda dan yang lain mengajarkan tata cara melaksanakan korban suci (yadnya).
Sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan sudah seyogyanya kita berterima kasih pada Beliau, karena Beliau pun menciptakan kita dengan yadnya. Dengan yadnya pula kita sebagai manusia akan mencapai kebaikan yang maha tinggi. Dalam Bagavad Gita III.10 disebutkan, bahwa pada zaman dahulu prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: "Dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu."
Kalau merujuk pada beberapa kitab suci seperti Manawa Dharma Sastra III.69-70 untuk Butha Yadnya adalah upacara bali (banten), sedangkan dalam kaitannya dengan upacara butha yadnya itu adalah upacara tawur untuk keseimbangan alam. Dalam Agastya Parva disebutkan, bahwa bhuta yadnya ngarania taur muang kapujan ringtuwuh, melaksaanakan butha yadnya menggunakan bali (banten) sebenarnya adalah simbol atau nyasa.
Lontar Yadnya Prakirti menyatakan .... "Sahananing bebantenan pinaka raganta tuwi (seperti simbol tubuh manusia), pinaka warna rupaning bhatara (seperti wujud Bhatara/Dewa), pinaka Anda Buwana (seperti wujud isi alam semesta), Butha yadnya namanya adalah mengembalikan kelestarian alam dengan menyayangi tumbuh-tumbuhan: DaIam melakukan yadnya yang sesungguhnya adalah penyerahan diri sebagai yadnya yang mulia sebagaimana yang dilakukan oleh Sri Guruji Golwakar. Sementara ini pelaksanaan yadnya di Bali selaIu dengan upacara yang seyogyanya dibarengi dengan penguatan sradha dan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Berapa pun banyaknya upacara yang dilaksanakan apalagi dengan keglamouran atau kemewahan yang ternyata ada kepentingan-kepentingan di balik itu, maka itu tidak akan ada maknanya, tanpa adanya susila yang tidak terpisahkan dari sebuah upacara, dan makna di balik ritual sebagai pemahaman tattwa. Jadi melaksanakan yadnya tidak mesti dengan upacara besar dengan mengabaikan susila dan tattwa.
Begitu pun dengan butha yadnya yang di Bali diterjemahkan dengan korban binatang, Mestikah seekor binatang dikorbankan hanya untuk yadnya keharmonisan alam? Sementara ini keadaan itu dikonstruksi sedemikian rupa, sehingga umat Hindu takut pada Kala. Walaupun daIam Manawa Dharma Sastra V.40 disebutkan, bahwa tumbuh-tumbuban dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan. berikutnya. Oleh karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan sitat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan akhirnya terus meningkat menuju sifat-sifat kedewaan.
Mitologi dalam butha yadnya inipun tidak terlepas dari apa yang dipahami oleh umat, bahwa Caru Ekasata dihubungkan dengan Sahadewa, Caru Panca Sata dengan Panca Kumara, Caru Panca Sanak dengan anjingnya Yudistira, Caru Panca Kelud dengan Prabu Angling Dharma. Keadaan itu kita warisi sampai sekarang, padahal esensinya butha yadnya jangan hanya diartikan pada persembahan kepada butha kala melainkan mestinya esensi yang substantif adalah memperbaiki sifat-aifat yang berada dalam diri manusia dengan jalan ngeret indria, mulat sarira sebagai sifat butha seyogyanyalah sifat-sifat binatanglah yang dikorbankan. Keharmonisan alam semesta sebagaimana konsepsi Tri Hita Karana wajib dilaksanakan agar tercapai dunia yang jagadhita (sejahtera).
Beryadnya di zaman kali adalah dengan berdana dan musuh itu sangat dekat dengan diri kita karena ia berada dalarn diri kita sendiri. Secara normatif ajaran-ajaran dalam Hindu senantiasa menuntun kita ke arah kebaikan, tetapi perkaranya adalah begitu banyak upacara yang dilakukan termasuk butha yadnya demi keharmonisan alam, kenapa masih saja terjadi kerusakan pada alam. Kalau itu adalah kerusakan mekanis karena alam sudah semakin tua usianya, bagaimana upaya kita sebagai makhluk ciptaan yang sama dari beliau memiliki kewajiban moral untuk merevitalisasi. Akan tetapi kalau ternyata manusia sendiri yang merusak alam itu sendiri sehingga alam menjadi rusak betapa berdosanya kita. Pelaksanaan sebuah upacara, baik itu butha yadnya maupun yadnya yang lain seyogyaya menjadikan umat Hindu semakin unggul dan berkualitas meliputi keunggulan rohani, etika, moral, toleransi, dan keunggulan penguasaan teknologi.
PENUTUP
KESIMPULA
Dari uraian
diatas dapat di simpulakan bahwa upacara Nangluk Merana merupakan upacara yang
sangat berkaitan dengan kitab suci hindu yaitu Weda oleh karena Upacara Nangluk Mrana (merana) adalah upacara
yadnya yang dilaksanakan sebagai permohonan
kepada Ida Sang Hyang
Widhi, Tuhan Yang Maha Esa agar berkenan
menangkal atau mengendalikan gangguan - gangguan yang dapat membawa kehancuran
atau penyakit pada tanaman, seperti padi di sawah, hewan maupun manusia sehingga tidak membahayakan lagi, sebagaimana dijelaskan
dalam kutipan artikel upacara ngaben tikus dalam
jornal Bali.
Asal katanya disebutkan "Nangluk Mrana" berasal
dari kata bahasa Bali yang kemungkinan juga mendapat pengaruh bahasa
sansekerta.
- “Nangluk” berarti
empangan, tanggul, pagar, atau penghalang; dan “mrana” berarti hama
atau bala penyakit.
- Mrana adalah istilah yang umum
dipakai untuk menyebut jenis-jenis penyakit yang merusak
tanaman. Bentuknya bisa berupa serangga, binatang maupun dalam bentuk
gangguan keseimbangan kosmis yang berdampak merusak tanaman.
Jadi “nangluk
mrana” berarti mencegah atau menghalangi hama (penyakit), atau ritual penolak
bala. Dalam lontar “Perembon Indik Ngaben
Tikus” sekilas dijelaskan bila tikus telah menjadi hama ganas yang
menyerang sawah petani, maka sebaiknya dilakukan upacara seperti mengupacarai
orang mati biasa. Dan upacara hendaknya dilakukan di tepi pantai dengan cara
dibakar. Namun
dalam lontar itu tidak dijelaskan secara rinci jenis upakara atau tetandingan banten maupun tatacara pelaksanaannya. Tata cara
upacaranya seperti mengupacarai orang mati biasa dan hendaknya tempat upacara
di tepi pantai dengan cara dibakar atau disebut dengan istilah "ngaben tikus". Hal ini dijelaskan
sekilas dalam lontar “Sila Gama Catur Pataka.” Dalam lontar “Yama
Tattwa” disebutkan bahwa waktu yang paling tepat untuk melaksanakan ngaben
tikus adalah pada saat gugusan bintang di langit membentuk rasi tikus.
Hampir semua lontar yang sekilas menjelaskan ngaben tikus menyebut pantai
(laut) sebagai tempat yang paling baik untuk menggelar upacara pengabenan tikus
itu.
Dan yang di
kutip dalam Weda Yadnya merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan ajaran
Weda; Tujuan pelaksanaan: "yadnya itu sendiri adalah sebagai pengejawantahan Weda di samping sebagai cetusan rasa
terima kasih, dan untuk meningkatkan kualitas diri. Weda menguraikan empat cara
yang berbedabeda untuk mengungkapkan ajaran Weda itu sendiri yaitu:
Ream tvah posagaste
Gayatram tvo gayati savavarlsu
Brahma tvo vadati jatavidyam
Yadnasya matram vi mimita uttvah
(Reg.Veda V.71.II)
Artinya: Seorang bertugas mengucapkan sloka-sloka Veda seorang melakukan nyanyian-nyanyian pujian dalam sakwari, seorang lagi yang menguasai pengetahuan Weda dan yang lain mengajarkan tata cara melaksanakan korban suci (yadnya).
Ream tvah posagaste
Gayatram tvo gayati savavarlsu
Brahma tvo vadati jatavidyam
Yadnasya matram vi mimita uttvah
(Reg.Veda V.71.II)
Artinya: Seorang bertugas mengucapkan sloka-sloka Veda seorang melakukan nyanyian-nyanyian pujian dalam sakwari, seorang lagi yang menguasai pengetahuan Weda dan yang lain mengajarkan tata cara melaksanakan korban suci (yadnya).
Oleh
karena itu Nangluk merana adalah tradisi hindu yang berdasarkan Weda dan mesti
selalu di jalankai supaya tidak menimbulkan bencana di uatu wilayah.
Posting Komentar